Temuan-temuan Selama Menulis Buku
oleh Budiman Hakim
1. Teman adalah guru terbaik kita.
Beruntung sekali saya bisa berteman dengan orang-orang periklanan sekaliber Djokolelono, Jeanny Hardono, Gandhi Suryoto, Djito Kasilo, Ariyanto Zainal, Jimmy, Triawan Munaf, RTS Masli, Glenn Marsalim dan masih banyak lagi nama-nama kondang yang saya kenal. Mereka bukan hanya teman, mereka juga sekaligus guru saya. Saya banyak belajar dari mereka. Apa yang saya sampaikan dalam buku sebetulnya banyak yang saya peroleh dari mereka. Yang saya lakukan cuma mengemas sedikit agar lebih mudah dicerna oleh masyarakat awam.
2. Pengetahuan harus disebarkan.
Adalah suatu kebodohan apabila kita menyimpan sendiri pengetahuan kita tanpa berbagi kepada orang lain. Khususnya pada generasi setelah kita. Karena itu, apa yang ada dalam kepala, saya tumpahkan semua dalam buku dengan harapan bisa menjadi masukan bagi Mahasiswa Periklanan dan Praktisi Periklanan Muda di Indonesia. Tentu saja bukan tidak ada gunanya
apabila Dosen2 dan Praktisi Periklanan Senior turut membaca dan mengkaji buku ini agar ke depannya bisa diperbaiki sehingga lebih sempurna. Dengan bersatu saling membantu, melupakan kepentingan diri sendiri insya Allah akan membuat industri periklanan negeri ini maju.
3. Pendekatan ilmiah membuat jarak!
Ada beberapa dosen perguruan tinggi yang mencela bahasa yang saya gunakan Sangat bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah disempurnakan. Saya bukannya tidak menyadari hal itu. Dan saya punya alasan sendiri. Suka atau tidak suka, adalah suatu kenyataan bahwa banyak sekali orang Indonesia yang kurang suka membaca. Dan bahasa ilmiah membuat jarak menjadi lebih lebar antara pembaca dan buku. Karena itulah saya mencoba ngobrol dengan tulisan. Saya hindari istilah-istilah yang membuat orang mengerutkan dahi. Saya berbicara dengan anak-anak muda, karena itulah saya mencoba sedapat mungkin berbicara dengan bahasa mereka. Komunikasi buat saya lebih penting daripada bahasa baku. And…it works!
4. Lemah dalam kepekaan dan analisa!
Sebelum buku dicetak, hampir semua yang saya tulis saya coba dulu dalam training, workshop dan materi perkuliahan. Alangkah herannya saya mendapatkan bahwa orang Indonesia tidak peka terhadap sesuatu. Apa yang diajarkan di sekolah ditelan mentah-mentah. Kemampuan mengembangkan apa yang didapat sangat lemah. Sering terjebak pada contohnya. Misalnya : Saya bertanya arti personifikasi dalam beberapa forum berbeda, kota yang berbeda…hasilnya? Tanpa kecuali semuanya menjawab :Personifikasi adalah Nyiur melambai-lambai dan Ombak berkejar-kejaran. Kalau kepekaan memandang sesuatu dan menganalisa ditingkatkan, saya yakin periklanan kita akan jauh lebih maju daripada sekarang.
5. Orang Indonesia saling curiga
Pada saat saya meminta izin untuk memakai sebuah iklan pada kreatornya, ada beberapa tanggapan. Pertama, mereka antusias sekali dan merasa terhormat mengetahui karyanya akan dimasukkan ke dalam buku saya. Misalnya Chukiat dari Thailand dan Eugene Cheong dari Singapore. Beberapa lagi tidak memberi tanggapan sama sekali. Yang paling lucu, agency di negeri ini yang nota bene adalah kawan-kawan saya, justru tidak memberikan izin. Tidak jelas alasan penolakan tersebut. Akan tetapi mereka menginterogasi saya dengan pertanyaan `Untuk apa?' `Kenapa pilih punya kami?" Kenapa tidak yang lain?" "Kami akan bikin internal meeting dulu membahas masalah itu" Dan lain-lain. Sedih hati saya…Perkembangan sebuah negeri adalah kerja kolektif! Bagaimana kita bisa maju kalau antar individu/lembaga, kita saling curiga satu sama lain?
7. Nasib penulis buku memprihatinkan.
Terakhir tapi tak kalah penting, saya menemukan bahwa nasib penulis buku itu sangat memprihatinkan. Di luar negeri konon pelukis bisa hidup sangat layak hanya dengan menulis buku. Di Indonesia? Penulis hanya dapat royalty 10% dari setiap pembelian buku. Sedangkan Toko buku mendapatkan 30%. Sapardi Djoko Damono menjual bukunya Rp 13.000. Jadi beliau memperoleh Rp 1300 tiap 1 buku. Kalau terjual 1000 buku, maka beliau mendapat Rp 1.300.000. Kemalangan ini ditambah lagi dengan pembajakan buku di Kampus2 yang sering memfotokopi buku dengan alasan; Ilmu Pengetahuan itu layak untuk dibajak. Astahgfirullah…!
Beruntunglah saya mendapatkan penerbit seperti Galang. Mereka memberi saya keleluasaan seluas-luasnya. Saya diperbolehkan untuk mendesign cover sendiri, memilih tipe huruf sendiri, memilih point size sesuai dengan yang saya inginkan. Padahal saya adalah penulis pemula. Penulis bau kencur. Di samping itu juga Galang menawarkan beberapa pilihan
bentuk kerjasama yang fleksibel dan akan menguntungkan kedua belah pihak.
8. Bangsa yang besar adalah bangsa yang banyak menerbitkan buku…!
Namun seandainya tidak menguntungkan pun pasti saya akan tetap menerbitkan buku ini. "Sebelum mati buatlah minimal 1 buku", sudah merupakan amanah yang telah disampaikan oleh almarhum ayah saya. Selain itu, tentu saya ingin sekali memberikan sumbangan kepada industri periklanan yang telah memberi saya ruang untuk berekspresi. Saya berharap buku ini ada gunanya bagi kita semua. Saya berharap terbitnya buku ini sekaligus merupakan pemicu bagi praktisi lain untuk menulis buku periklanan yang teramat kurang di negeri ini. Tidak perlu ada rahasia demi kemajuan bangsa. Semakin banyak buku, kita akan semakin maju!
BH
<< Home