...demikian kata mereka.

Kumpulan bacaan-bacaan menarik dari orang-orang (periklanan, pada umumnya).

Wednesday, October 01, 2008

Suatu Hari di Ruang Praktek Grafis

Dokter G:

Sambil duduk di mejanya, melihat dari kacamata Rudy Project-nya.

"Silakan duduk, keluhannya apa?"


Pasien:

"Anu, Dok... Dari kemaren komposisi saya selalu gak enak. Di horizontalin salah, vertikal makin pusing."


Dokter G:

Menunjuk ke arah monitor

"Mari silakan kita lihat masalahnya... Mau dari Frihen, Illustrator atau Photoshop?" seraya menerima USB drive dari pasien.


Pasien:

"Saya bawanya JPG, Dok..."


Dokter G:

"Hmm... lebih bagus sih kalau sampeyan bawa PSD atau TIFFnya. Biar kita bisa lihat layer per layer. Dari situ kita bisa lihat di mana masalahnya."


Pasien:

"Eh iya... anu... tadi saking pusingnya dari rumah langsung ke sini Dok. Jadi gak sempet ngeburn ke CD. Cuma sempet Print Screen aja, itu juga udah dicoba ganti ke JPG, takutnya PNG gak kompatibel ke komputer sini..."


Dokter G:

*serius memperhatikan*

Beberapa kali melakukan zoom in - zoom out sambil menginstruksikan si pasien membuka mulut dan mingkem.

"AAAAA...... MMMMM...."


Pasien:

"AAAAA...... MMMMM...."


Dokter G:

Selesai mengevaluasi, kemudian mempersilakan pasien kembali ke mejanya.

"Ya sudah silakan..."


Pasien:

Membereskan file-filenya.


Dokter G:

"Mbak, dari tadi saya lihat di monitor mbak sering sekali mengkonsumsi Tahoma dan Verdana. Bener kan?"


Pasien:

"Egh... He-eh iya dok... Emang gak boleh sering-sering ya Dok?"


Dokter G:

"Tahoma itu mengandung banyak Serif dan Verdana itu sering bikin mata kaku. Karena bentuknya juga kaku."


Pasien:

" Oh gitu ya. Kalau gambarnya ada masalah gak, Dok? Soalnya itu hasil dari kamera henpon, gak pa-pa ya kalo gak 300dpi?"


Dokter G:

" Mestinya kalo dari kamera minimum 2.0megapixel sih gak apa-apa. Toh ini kan penggunaan dalam. Kalau mbak malah ke tempat-tempat generik di mal-mal malah bisa disuruh opname 3 hari tuh Mbak..."


Pasien:

"Iya tuh Dok!... Kemaren saya ke tempat cuci cetak di mal dibilang gitu emang. Main langsung vonis 3 hari gitu. Katanya ada komplikasi pembesaran ke 8R malah."


Dokter G:

"Hehehe... itu biasanya tempatnya disponsorin merek tertentu, jadinya mereka selalu menganjurkan pemakaian merek mereka."


Pasien:

"Oh gitu ya dok... pantesan kemaren ipar saya dari sana jadinya cetak satu album besar..."


Dokter G:

Selesai dengan resep kemudian memberikan kepada pasien.

"Ini keluarga Helvetica Neue, dikonsumsi ketika hendak menggunakan bodycopy. Kalau tidak ada bisa juga Arial atau Grotezk. Times New Roman boleh juga. Asal jangan sering-sering...

Kalau untuk headline boleh pake yang fancy-fancy asal masih terbaca dengan jelas. Headline juga gak usah panjang-panjang, nanti susah bacanya..."


Pasien:

"Dokter disponsorin ama Helvetica juga ya?"


Dokter G:

"Hus... enak aja!..."


Pasien:

"Kan suka gitu Dok... kayak dokter bilang tadi, biasanya mereka disponsorin ama merek tertentu..."


Dokter G:

"Enggak kok Mbak, Helvetica ini nyaman sekali untuk mata dan banyak sekali variannya. Dari Thin, Extended, Condensed sampai Black. Ini sudah resep turun temurun. Dan mendunia. Jadi mbak gak usah takut. Ini sudah diakui badan grafis dunia."


Pasien:

"Oh ok. Dosisnya seberapa Dok?"


Dokter G:

"Cukup 3 kali sehari. Dilatih pake rata kanan dan kiri ngga perlu justified. Leading renggang dan sempit. Jangan lupa kerningnya yang disiplin."


Pasien:

"Baiklah. Terimakasih ya Dok..."


Dokter G:

"Mariii... kalau ada keluhan boleh datang lagi. Ngga perlu datang minggu depan..."

Monday, January 09, 2006

Lia Eden, Kita Edan.

oleh kawanjaja

Semuanya kembali terjadi lagi. Begitu saja. Saya tak tahu detailnya. Tapi, saya yakin, semua terjadi persis sama. Seperti yang lalu-lalu. Ada segelintir orang yang kita anggap sesat, dan ada kita yang merasa diri besar dan benar. Ada orang-orang yang ditangkapi, dipukuli, dibakar rumahnya, dibakar tempat ibadahnya, dirajam bahkan dibunuh. Kita kelihatannya bisa menerima perbedaan. Padahal sama sekali tidak. Kita menyebut diri orang toleran yang punya toleransi sudah sangat besar. Padahal yang namanya toleransi tetap mengasumsikan diri kita punya kadar kebenaran tertentu. Kebenaran yang di satu titik tertentu tak bisa ditawar lagi. Saat itulah kita beraksi. Saat itulah kita menyatakan kebenaran kita. Tapi, seberapa benar sebenarnya kebenaran kita? Apakah kebenaran kita kebenaran yang sebenar-benarnya benar? Atau kebenaran yang kita benarkan sebagai yang benar-benar?

Mungkin saatnya kita berhenti bicara toleransi. Mungkin saatnya kita bicara apresiasi. Seperti mengapresiasi puisi. Kita bisa merasakan keindahan cara, gaya dan rasa dari kebiasaan atau doa dari orang-orang yang kita anggap beda dengan kita. Kenapa? Karena toh yang kita anggap lain itu ya dari Dia juga, ya Dia-Dia juga. Karena toh kebenaran itu tak bisa kita miliki, tak bisa kita usahakan. Kebenaran itu terjadi. Tentu saja kalau lainnya sudah sampai membakar, membunuh dan tindakan keji lainnya, kita tak bisa tinggal diam. Dan Dia pun tentu tak akan tinggal diam. HukumNYA yang penuh kasih tak pernah pilih kasih.

Saya memang mulai ragu tentang apa yang saya sebut-sebut sebagai kebenaran sejak kecil. Mungkin, kebenaran yang kita anggap kebenaran adalah kebenaran yang diajarkan kepada kita sejak kecil. Bukan kebenaran itu sendiri. Mungkin selama ini, kita sudah merasa jkenyang waktu membaca Menu Lezat Kebenaran...tanpa pernah memakannya, tanpa pernah mengunyahnya sendiri. Dari kecil diteteki, sampai mau mati masih minta diteteki.

Mungkin seperti Guru saya bilang, mau atheis mau theis bisa saja sama ngawurnya, “Orang atheis membuat kesalahan karena menyangkal kenyataan yang tidak mungkin dijelaskan. Sedang, orang theis membuat kesalahan karena mencoba menjelaskannya." **

Guruuuu, sampeyan memang edaaaaaaan tenaaaaaaaaan.


(**penggalan Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello, Penerbit Kanisius, Cetakan 1, 1997)

Tuesday, October 11, 2005

Temuan-temuan Selama Menulis Buku

oleh Budiman Hakim

1. Teman adalah guru terbaik kita.

Beruntung sekali saya bisa berteman dengan orang-orang periklanan sekaliber Djokolelono, Jeanny Hardono, Gandhi Suryoto, Djito Kasilo, Ariyanto Zainal, Jimmy, Triawan Munaf, RTS Masli, Glenn Marsalim dan masih banyak lagi nama-nama kondang yang saya kenal. Mereka bukan hanya teman, mereka juga sekaligus guru saya. Saya banyak belajar dari mereka. Apa yang saya sampaikan dalam buku sebetulnya banyak yang saya peroleh dari mereka. Yang saya lakukan cuma mengemas sedikit agar lebih mudah dicerna oleh masyarakat awam.


2. Pengetahuan harus disebarkan.

Adalah suatu kebodohan apabila kita menyimpan sendiri pengetahuan kita tanpa berbagi kepada orang lain. Khususnya pada generasi setelah kita. Karena itu, apa yang ada dalam kepala, saya tumpahkan semua dalam buku dengan harapan bisa menjadi masukan bagi Mahasiswa Periklanan dan Praktisi Periklanan Muda di Indonesia. Tentu saja bukan tidak ada gunanya
apabila Dosen2 dan Praktisi Periklanan Senior turut membaca dan mengkaji buku ini agar ke depannya bisa diperbaiki sehingga lebih sempurna. Dengan bersatu saling membantu, melupakan kepentingan diri sendiri insya Allah akan membuat industri periklanan negeri ini maju.


3. Pendekatan ilmiah membuat jarak!

Ada beberapa dosen perguruan tinggi yang mencela bahasa yang saya gunakan Sangat bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah disempurnakan. Saya bukannya tidak menyadari hal itu. Dan saya punya alasan sendiri. Suka atau tidak suka, adalah suatu kenyataan bahwa banyak sekali orang Indonesia yang kurang suka membaca. Dan bahasa ilmiah membuat jarak menjadi lebih lebar antara pembaca dan buku. Karena itulah saya mencoba ngobrol dengan tulisan. Saya hindari istilah-istilah yang membuat orang mengerutkan dahi. Saya berbicara dengan anak-anak muda, karena itulah saya mencoba sedapat mungkin berbicara dengan bahasa mereka. Komunikasi buat saya lebih penting daripada bahasa baku. And…it works!


4. Lemah dalam kepekaan dan analisa!

Sebelum buku dicetak, hampir semua yang saya tulis saya coba dulu dalam training, workshop dan materi perkuliahan. Alangkah herannya saya mendapatkan bahwa orang Indonesia tidak peka terhadap sesuatu. Apa yang diajarkan di sekolah ditelan mentah-mentah. Kemampuan mengembangkan apa yang didapat sangat lemah. Sering terjebak pada contohnya. Misalnya : Saya bertanya arti personifikasi dalam beberapa forum berbeda, kota yang berbeda…hasilnya? Tanpa kecuali semuanya menjawab :Personifikasi adalah Nyiur melambai-lambai dan Ombak berkejar-kejaran. Kalau kepekaan memandang sesuatu dan menganalisa ditingkatkan, saya yakin periklanan kita akan jauh lebih maju daripada sekarang.


5. Orang Indonesia saling curiga

Pada saat saya meminta izin untuk memakai sebuah iklan pada kreatornya, ada beberapa tanggapan. Pertama, mereka antusias sekali dan merasa terhormat mengetahui karyanya akan dimasukkan ke dalam buku saya. Misalnya Chukiat dari Thailand dan Eugene Cheong dari Singapore. Beberapa lagi tidak memberi tanggapan sama sekali. Yang paling lucu, agency di negeri ini yang nota bene adalah kawan-kawan saya, justru tidak memberikan izin. Tidak jelas alasan penolakan tersebut. Akan tetapi mereka menginterogasi saya dengan pertanyaan `Untuk apa?' `Kenapa pilih punya kami?" Kenapa tidak yang lain?" "Kami akan bikin internal meeting dulu membahas masalah itu" Dan lain-lain. Sedih hati saya…Perkembangan sebuah negeri adalah kerja kolektif! Bagaimana kita bisa maju kalau antar individu/lembaga, kita saling curiga satu sama lain?


7. Nasib penulis buku memprihatinkan.

Terakhir tapi tak kalah penting, saya menemukan bahwa nasib penulis buku itu sangat memprihatinkan. Di luar negeri konon pelukis bisa hidup sangat layak hanya dengan menulis buku. Di Indonesia? Penulis hanya dapat royalty 10% dari setiap pembelian buku. Sedangkan Toko buku mendapatkan 30%. Sapardi Djoko Damono menjual bukunya Rp 13.000. Jadi beliau memperoleh Rp 1300 tiap 1 buku. Kalau terjual 1000 buku, maka beliau mendapat Rp 1.300.000. Kemalangan ini ditambah lagi dengan pembajakan buku di Kampus2 yang sering memfotokopi buku dengan alasan; Ilmu Pengetahuan itu layak untuk dibajak. Astahgfirullah…!

Beruntunglah saya mendapatkan penerbit seperti Galang. Mereka memberi saya keleluasaan seluas-luasnya. Saya diperbolehkan untuk mendesign cover sendiri, memilih tipe huruf sendiri, memilih point size sesuai dengan yang saya inginkan. Padahal saya adalah penulis pemula. Penulis bau kencur. Di samping itu juga Galang menawarkan beberapa pilihan
bentuk kerjasama yang fleksibel dan akan menguntungkan kedua belah pihak.


8. Bangsa yang besar adalah bangsa yang banyak menerbitkan buku…!

Namun seandainya tidak menguntungkan pun pasti saya akan tetap menerbitkan buku ini. "Sebelum mati buatlah minimal 1 buku", sudah merupakan amanah yang telah disampaikan oleh almarhum ayah saya. Selain itu, tentu saya ingin sekali memberikan sumbangan kepada industri periklanan yang telah memberi saya ruang untuk berekspresi. Saya berharap buku ini ada gunanya bagi kita semua. Saya berharap terbitnya buku ini sekaligus merupakan pemicu bagi praktisi lain untuk menulis buku periklanan yang teramat kurang di negeri ini. Tidak perlu ada rahasia demi kemajuan bangsa. Semakin banyak buku, kita akan semakin maju!

BH

Meminta Maaf Dengan Catatan

oleh Alia Helianthi

Siapa bilang memaafkan itu mudah?

Bila orang lain berprinsip "Maafkan dan Lupakan."
Aku lebih memiliki filosofi seperti ini,
"Maafkan dan Ingat, Jangan Sampai Terjadi Lagi." :P

Tapi emang bener sih.
Untuk apa kita bermaaf-maafan,
tapi terus mengulangi kesalahan yang sama?

Akibatnya...
Kata maaf menjadi tak bermakna.
Mengalir begitu saja seperti uang yang didapatkan dengan mudah.

Walau begitu, kita harus bisa membuka hati
untuk meminta maaf dan memaafkan.
Konon, itu bisa menjadi semacam detoksifikasi spiritual :)

Karenanya, menjelang bulan Ramadhan ini
dengan segala kerendahan hati,
saya ingin meminta maaf atas segala kesalahan
yang telah sengaja maupun tidak sengaja saya perbuat.

Namun dengan sedikit catatan:
Tolong beritahukan kesalahan saya itu,
agar saya tidak akan melakukannya lagi di masa depan.

Selamat menunaikan ibadah Puasa.
Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT

Monday, October 10, 2005

Petuah Seorang Balerina

oleh Glenn Marsalim

Suatu siang, saya berkesempatan
untuk ngobrol dengan penari balet terkenal dari Rusia.
Beliau mengunjungi kampus saya.

Rasanya seperti bertemu dengan dewi.
Keriput di wajahnya tak mampu
menutupi keanggunan balerina sejati.
Setiap geraknya adalah keindahan.
Dan yang masih melekat di hati saya
adalah sorotan matanya. Berisi. Berbinar.
Seolah hendak berkata "aku lah bintang!"

Ada beberapa petuah
yang sampai saat ini saya simpan dalam hati.
Tadinya mau saya simpan sendiri.
Tapi kata pepatah cina, semakin banyak ilmu yang kita bagikan,
semakin banyak ilmu didapat.

"Penari yang hebat, akan tetap mencuri perhatian walau Ia dibalik panggung sekalipun."
Kita sering ngamuk kalau ngerasa orang lain
mendapat kredit atas keberhasilan yang kita kerjakan.
"Kok CD naik panggung padahal gue yang bikin tuh iklan..."
Darling, tenang aja lah...
yang bagus akan kelihatan juga pada waktunya.

"Akan sangat menggelikan kalau penari mengikuti gerak lampu sorot.
Biarkan lampu sorotlah yang mengikuti penari yang menari dengan sepenuh hati."
Sering kita, orang iklan,
ngebet pengen cepet-cepet menang award dan menjadi sorotan.
Semua cara dilakukan. Sampe terkadang lupa untuk bekerja dengan sepenuh hati.

"Semua penari bisa melakukan gerakan yang sama.
Tapi alasan di balik gerakan lah yang membedakan.
Menari untuk diri sendiri atau untuk orang lain."
Kita sering bikin kerjaan yang masturbatif.
Lupa kalau kita bikin iklan buat orang lain.
Padahal orang lain lah yang menilai kerjaan kita.

"Di atas setiap panggung hanya boleh ada satu primadona.
Yang lain cuma embel-embel."
Di tengah persaingan orang iklan seperti sekarang...
jadi primadona iklan saya gak tau caranya.
Tapi kerja keras dan belajar sampe mampus sepertinya bisa memuluskan jalan.

Observation and 'Insights'

by Daniel Rembeth

I write this on the eve of Citra Pariwara 2005 in Surabaya. Though I won’t be there, I feel the needs of pouring my heart and thinking to my creative, account management and planner colleagues in the advertising industry.
As a start, recently MPA issued compelling new insights on how and why readers engaged with magazines. It was mentioned that ‘people read magazines to relax’ and valued them because ‘they contain lots of information’… duh

Well, these insights is rank with so many of the great ‘insights’ I’ve been exposed to, and I confess, been done also by yours truly over the years; such as ‘mother likes to take care of her family’ or ‘teens value their independency’ and in numerous occasion ‘Indonesian is open hearted and warm people’. This is not great insights, at best they are interesting truths, or observations.

Think of insights as the statement of understanding to the heart of the problem. Think moments of creativity and profound illumination (something I’ve not had that many in all years I’ve worked in this business)
When you look into the advertising industry, you realize that we have obsessed by insights, particularly of the consumer kind. The process in place and we glorified the functions as the most importance element in the modern strategic thinking. Every single brief now hast to have an insight statement.

In return, we have commoditized the term. There is no quality control, there’s no recognition of how hard they are to come by and what really means to have one. At the same time we put the word on a pedestal. When presented with the insight, how do we argue that, for instance, it’s just a relevant research finding, one piece of the jigsaw that helps us achieve the breakthrough? More often than not, we get stuck working out how to execute this relatively straight forward observation.

Worse, looking for insights has become a process that the consumer is expected to lead. When in fact it is a creative exercise that should be owned by the brand and agency. After all consumer is at the end of recipient chain, and mostly least skilled to help us achieve that goal.

Finally, our obsession with the consumer means we tend to overlook and ignore other areas of inspiration, we forget that the brand we work on, our competition and category, and our CULTURE at large are territories worth investigating.
Let us do start doing it. I certainly hope that before I end my career in the industry, I will a proud witness the glory of one Indonesia’s ad win the grand clio or the golden lion.

Kontol Konstruktif

oleh Djito Kasilo

Konon, di dunia itu ada ujud konstitusif (semacam kodrat) dan ujud konstruktif (hasil bentukan). “Wanita bisa hamil” atau “kayu bisa terbakar”, adalah realitas konstitusif. Karena emang begitulah adanya. Sedangkan “kulit cerah/putih itu cantik”, adalah realitas bentukan/konstruktif. Bayangkan kalau sejak dulu penguasa dunia adalah bangsa Afrika, mungkin sekarang kita meng-iya-kan bentukan bahwa cantik itu berkulit hitam dan berambut keriting.

Sebagai orang iklan, sebetulnya masalah konstitusif-konstruktif ini bukan hal asing. Toh tiap hari kita bermain2 dengannya. Sejak mecerna insight, kita sudah memilah2 konstitusi dan konstruksi benak target audience. Sampai akhirnya kita lakukan bentukan2 konstruksi baru di benak mereka melalui kata, gambar, suara, theatre of mind, testimony, manipulasi DI, dll.

Seperti halnya tangan, kaki, mata, ataupun telinga, alat kelamin itu sebagai benda yang konstitusif. Tapi istilahnya menjadi masalah konstruktif. Ada bentukan yang membuat kata alat kelamin lebih di-iya-kan dari pada kata kontol. Seperti halnya jaman orba, kata penyesuaian harga lebih di-iya-kan dari pada kata kenaikan harga.

Sebagai milisnya orang2 kreatif periklanan, bukankah lebih menarik mendiskusikan “konstruksi kata” dari pada meributkan kontolnya. Tentu saja kita harus bersikap sedewasa dokter kandungan melihat wanita membuka selangkangan di ruang prakteknya.

Tapi, btw, Iwan emang kurang ajar ya… gemblung !